Fenomena alam awan bolong memang jarang sekali dibahas, karena penampakan kejadian ini sangat langka bahkan terjadi begitu cepat, paling sehari atau dua hari saja. Selama beberapa dasawarsa para ilmuwan berusaha mengungkap asal muasal lubang dan kanal awan misterius itu. Tahun lalu Heymsfield juga mengepalai sebuah studi yang mengungkap bahwa celah yang terbentuk, yang terkadang tampak seperti lubang raksasa di langit, terjadi ketika pesawat terbang menembus awan di ketinggian menengah yang mengandung butiran air superdingin.
Ketika sebuah pesawat turboprop terbang menembus lapisan awan dengan temperatur sekitar minus 15 derajat Celsius atau lebih rendah, ujung baling-balingnya dapat menyebabkan udara tersebar dengan cepat. Ketika tersebar, udara akan mendingin dan menyebabkan butiran air superdingin membeku menjadi partikel es yang melenyapkan butiran air, jatuh ke bumi sebagai salju atau hujan.
Pesawat jet membutuhkan temperatur jauh lebih dingin, antara minus 20 hingga minus 25 derajat Celsius, untuk menciptakan efek hujan mendadak itu. Udara terdesak untuk menyebar ke atas sayap pesawat ketika pesawat bergerak maju, mendinginkan dan membekukan butiran air dalam awan.
Meski demikian, efek ini tak ada hubungannya dengan jejak uap air terkondensasi yang dihasilkan semburan emisi gas buang mesin jet, yang disebut sebagai contrail.
Dalam riset baru ini, tim studi menggunakan pengukuran awan, yang diambil oleh satelit CALIPSO milik NASA, untuk menghitung seberapa sering kondisi itu terjadi dalam radius 100 kilometer di beberapa bandar udara yang kawasan yang sering berawan. Mereka memilih radius 100 kilometer karena itu adalah jarak yang dibutuhkan sebuah pesawat komersial untuk terbang mencapai ketinggian 10 ribu kaki, lokasi lapisan awal superdingin berada.
Dari beberapa bandar udara besar yang diamati, mereka menemukan bahwa bandar udara Frankfurt, DeGaulle, dan O'Hare adalah lokasi yang paling sering mengalami kondisi yang tepat bagi pesawat berbaling-baling untuk menghasilkan hujan mendadak. Dalam setiap kasus, kondisi itu terjadi lebih dari 5 persen dalam setahun. Para peneliti menemukan bahwa kondisi yang tepat itu hanya terjadi sekitar 3 persen dari seluruh aktivitas pesawat jet di Heathrow, Frankfurt, dan Seattle-Tacoma.
Sebaliknya, bandar udara Yellowknife di Kanada lebih sering mengalami kondisi semacam itu, sekitar 10 persen untuk pesawat berbaling-baling dan 5 persen untuk pesawat jet. Itu kemungkinan terjadi karena kondisi awan yang lebih dingin pada daerah yang berada di garis lintang lebih tinggi. Namun, lapangan terbang Byrd di Antartika kerap mengalami kondisi sangat dingin yang tak memungkinkan pesawat jet menimbulkan awan berlubang secara tak disengaja.
Para ilmuwan juga menemukan bahwa berbagai jenis pesawat dapat memicu terjadinya hujan atau salju. Mereka membandingkan observasi awan bolong dan awan kanal yang dilakukan oleh satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dengan catatan jalur penerbangan dari Federal Aviation Administration.
Hasilnya, pesawat jet komersial seperti Boeing 757 dan McDonnell Douglas MD-80, pesawat militer B-52, berbagai pesawat jet pribadi, dan regional, turboprop, hingga pesawat baling-baling dapat menimbulkan turunnya hujan atau salju. “Tampaknya pesawat jenis apa pun yang terbang menembus awan, yang mengandung air dalam fase cair pada temperatur di bawah titik beku, dapat menyebabkan efek ini,” kata Heymsfield.
Analisis data satelit yang dilakukan tim peneliti memperlihatkan bahwa lubang dan kanal awan itu dapat sering terjadi. Sebagai contoh, 92 awan aneh terlihat pada lapisan awan di atas Texas pada 29 Januari 2007. Beberapa awan kanal dan bolong bertahan hingga lebih dari 4 jam dengan panjang mencapai lebih dari 96 kilometer.
Dalam studinya, Heymsfield dan timnya juga menggunakan perangkat lunak canggih, yang disebut sebagai pemodelan ramalan cuaca dan riset, untuk mempelajari bagaimana lubang itu terbentuk dan berkembang. Mereka menemukan bahwa lubang itu dengan cepat menyebar sekitar 30 hingga 90 menit setelah sebuah pesawat melintas. Inilah waktu puncak terjadinya presipitasi yang diasosiasikan dengan efek awan hujan. Setelah 90 menit, es dan salju mulai meninggalkan awan.